Archive for the ‘ our life ’ Category

Tentang Mimpi dan Mengabdi untuk Negeri

on-the-road-indonesia-background-full

Memasuki babak akhir masa perkuliahan memang tidak mudah, terutama bagi saya, kalau temen-temen yang lain gatau deh, keliatannya sih sama juga, haha. Sudah menuju angka satu tahun saya menyelami dinamika ‘aktivitas’ mahasiswa tingkat empat. Saya dituntut harus bisa berdamai dengan diri sendiri untuk bisa menaklukan raksasa besar bernama tugas akhir. Finally I know how it feel. Tugas akhir ini bukan perkara mudah, apalagi buat saya yang orang ekstrovert, dimana mood gampang kepengaruh sama lingkungan sekitar. Entahlah rasanya susah untuk bisa fokus dan ngerjain si TA kalu tidak ada dorongan kuat dari luar (alesan aja sih sebenernya, bilang aja males, hehe). Tapi kita gak akan bahas raksasa ini lebih jauh, biarkan power rangers dan megazord yang menanganinya.

Memasuki babak akhir masa perkuliahan memang tidak mudah, terutama bagi saya, kalau temen-temen yang lain gatau deh, keliatannya sih sama juga, haha.

Menjadi mahasiswa di penghujung kehidupan kampus memaksa kami untuk memikirkan masa depan. Meskipun harusnya udah dipikirin dari dulu, tapi rasanya berbeda karena kali ini ada benturan baru bernama realitas. Barangkali dulu kita bermimpi sangat tinggi dengan bisa bekerja di perusahaan multinasional super gede pasca lulus. Bisa langsung kaya di hari pertama, punya rumah di hari kedua, mobil keempat di hari ketiga, dan istri ke.. ah sudahlah. Intinya banyak penyesalan yang datang karena lagi lagi peningkatan kompetensi diri tidak bisa saya maksimalkan semasa kuliah dulu. (ps: buat para adik kelas jangan ditiru ya, semangat kuliahnya!). But life must go on. Suka atau tidak, kami harus memikirkan masa depan yang sebentar lagi menghantam membabi buta.

Saya termasuk orang yang percaya bahwa negeri ini akan lebih baik dengan bertambahnya jumlah orang-orang terdidik dan berpendidikan tinggi. Kemenangan seorang Muhammad Alfatih tak lepas dari kecerdasannya menggunakan strategi meriam berteknologi mutakhir, kedigdayaan developed country seperti di amerika dan eropa tentu karena banyaknya kaum intelektual, dan pastinya janji Allah untuk menaikan derajat para penuntut ilmu. Hal tersebut adalah sederet bukti dan alasan kuat yang membuat saya bertekad harus meneruskan pendidikan ke janjang yang lebih tinggi.

Namun lagi-lagi saya kembali merenung antara dua pilihan. Kuliah langsung atau kerja terlebih dahulu? Meskipun sejak dulu saya punya plan untuk kerja sebelum S2, namun ingin rasanya saya segera berangkat saja menyusul kawan-kawan saya yang ada di jepang, atau menuju eropa mengikuti jejak beberapa kakak kelas yang sudah disana.  Akhirnya selama hampir sebulan saya melakukan riset (gaya amat bahasanya) dengan berdiskusi bersama beberapa orang dari berbagai latar belakang, termasuk berdiskusi dengan Mommy and Daddy tentunya.

Akhirnya keputusan saya sudah bulat, kembali ke plan awal, saya harus kerja dahulu. Bukan tanpa alasan, keinginan saya untuk langsung S2 mentok di pertanyaan bidang apa yang akan di ambil, dan bagaimana nanti akan diimplementasikan di negeri tercinta. Berhubung saya juga belum ada niatan untuk menjadi dosen, maka bekerja terlebih dahulu adalah sebuah keharusan bagi saya. perlu adanya insight terhadap kebutuhan lapangan yang cukup baik bisa didapat dari dunia kerja. Saya tidak ingin pada akhirnya menyesal menghabiskan 2 tahun usia pada sesuatu yang kurang bisa diimplementasikan dengan baik.

keinginan saya untuk langsung S2 mentok di pertanyaan bidang apa yang akan di ambil, dan bagaimana nanti akan diimplementasikan di negeri tercinta.

Kembali ke judul di atas, perkara mengabdi untuk negeri menurut saya adalah hal esensial. Pastinya memang tidak mudah, banyak case yang terjadi dimana ilmu tidak dihargai, susah mendapat dana riset, dan seterusnya. Namun bagaimanapun saya meyakini bahwa suatu saat negeri ini akan berubah menjadi lebih baik. Dengan semakin banyaknya kaum intelektual yang kembali, maka perhatian akan dunia keilmuan akan bergeser ke arah yang lebih baik. Lahirnya besiswa LPDP misalnya, ini adalah kemajuan luar biasa dimana pemerintah menggelontorkan dana yang begitu besar untuk para pemuda penerus bangsa yang akan melanjutkan studi, baik di dalam negeri maupun abroad.

Karena itu silahkan pergi sejauh-jauhnya, kejar ilmu sampai tempat lahirnya, tapi jangan lupa untuk kembali pada ibu pertiwi. Mari rasakan nikmatnya berjuang diatas aspal panas ibukota, diatas tanah hasil perjuangan para pahlawan , mengabdi untuk Indonesia. Suatu saat nanti, pilar-pilar penopang negeri ini akan pindah ke pangkuan anak-anak muda sekarang, karena itu saatnya #MudaBergerak, Hahaha.

Semoga idealisme ini tetap bisa saya pegang sampai seterusnya. Salam hangat 🙂

Mari bersama rasakan nikmatnya berjuang diatas aspal panas ibukota, diatas tanah hasil perjuangan para pahlawan , mengabdi untuk Indonesia.

 

 

Dalam Diam

majus_poppy_field_near_glynde_by_momodem

Di pantulan cermin itu aku memandangmu malu-malu. Melihat sekelebat pipi merahmu dari sudut mata ini. Ada desiran halus yang tiba-tiba menerpa dada. Ah, dirimu memang lebih cantik dalam diam dibanding saat tersenyum di depan kamera. Namun lagi-lagi mulutku terkatup rapat, hatiku bergemuruh kencang.

Dalam terpaan angin diantara ilalang aku kembali berdesah. Menatap jauh dataran rendah dibalik pepohonan rindang. Mencoba menerka masa depan, mencari jawaban dari sebuah pertanyaan besar. Namun lagi-lagi semua berakhir dalam terkaan tanpa dasar, karena sejatinya aku belum melangkah, bahkan belum berani untuk mengambilnya. Baca lebih lanjut

Sebelum Langit Menjadi Merah

mom_close_up_child_baby_children_hand_17864_1920x1080

Sebelum langit menjadi merah–aku ingin mengenang lebih dalam sebuah makna yang pernah, akan, dan selalu terajut. Tentang untaian yang tak pernah terputus, dalam riak dan lekuk gelombang kehidupan. Aku ingin menelaah dan tersenyum lebih lama, hingga sudut mata meneteskan air yang mengalir melalui lekuk pipi dan berakhir di sudut dagu. Aku ingin bercerita tentang senyum ajaib yang menghapus air mata, serta pelukan nan nyaman penentram jiwa.

Dia yang begitu mencintaiku bahkan sebelum tau rupaku. Tak pernah berkata lelah meskipun tak sedikit beban yang direngkuh. Dia yang bahkan selalu terjaga untukku bahkan di saat sinar bulan tak cukup menerangi permukaan. Dia yang hatinya melebihi luas samudera, dan kasihnya menembus lapis-lapis angkasa.

Aku ingin berterima kasih, atas rasa cinta yang tak pernah berganti. Cinta dalam kesempurnaan, cinta dalam ribuan celah kekurangan. Aku ingin berterima kasih karena selalu ada saat dada ini begitu rapuh, saat raga ini butuh pelukan penyambung sendi ketegaran. Aku ingin berterima aksih atas segalanya, walau kutau tak sedikitpun dirinya meminta, dan bahkan tak sedikitpun ucapan ini membalas lautan jasanya.

Maaf. Maaf atas segala kepergianku selama hampir 10 tahun. Jarak yang memisahkan membuat tebing baktiku semakin jauh dari kesempurnaan. Ribuan alasan dengan mudah keluar tanpa memikirkan. Tetesan harapan terciprat menjauh dari keberadaan. Maaf atas segala kegoisanku, yang seringkali berharap pada yang lain, dan terlupa bahwa kau selalu ada untukku bercerita dan berkeluh kesah.

Sebelum langit menjadi merah–dan senja datang menghapus asa, ingin sekali aku memeluk dan mengecupmu, berucap dengan jujur bahwa aku mencintaimu dengan setulus-tulusnya cinta. Bahwa kaulah wanita pertama di hatiku, dan selalu seperti itu. Terima kasih, Ibu :’)

sumber dari sini

Memaknai Sebuah Perjalanan

4276

Sebuah dunia baru, atau mungkin rumah baru terpampang begitu asing. Dengan malu-malu aku memasukinya perlahan selangkah demi selangkah. Melihat ke kanan dan ke kiri secara hati-hati. Tawa kadang menyertaiku pada sudut tertentu, namun tangis tak lepas dari momen tertentu pada ruangan nan megah di dalamnya. Seringkali aku mengerutkan kening, berfikir keras, atau sekedar istirahat untuk berhenti melangkah dalam perihnya hambatan yang kulalui.

Kini rumah itu telah kujelajahi lebih dari separuh bagiannya. Banyak sekali keindahan baru yang kulihat dan kusimpan dalam memori. Melalui napak tilas itu, kulihat langkahku seakan semakin cepat. Seringkali tanpa tolehan, bahkan sedikit lirikan untuk menikmati tiap ruas bagiannya. Pikiran-pikiran lain membuat langkah ini terasa hampa. Egoisme dalam ambisi, keacuhan dalam berbagi, dan seringkali kekesalan tanpa alasan.

Barangkali banyak, namun ini jauh dari apa yang kuimpikan sebelum memasukinya. Langkahku yang semakin jauh ke dalam membuat beban dan tanggungjawab semakin berat untuk dipikul. Aku belum siap, jauh dari siap untuk melanjutkan estafet jejak langkah yang telah ditorehkan sebelumnya. Entah sudah terlambat atau belum, yang jelas kakiku begitu berat untuk digerakkan. Mungkin bagaimanapun keadaannya aku akan tetap keluar dan memasuki rumah selanjutnya. Namun aku sadar, ketidaksiapan ini adalah akibat dari kurangnya memaknai sebuah perjalanan panjang ini.

 gambar 

Kuliah Dua Tahun, Udah Bisa Apa?

Toga-dan-Ijazah-Kuliah

Salam hangat reader :D. gaya banget ya gue, haha. Oke kita awali tulisan kali ini dengan sebuah cerita. Jadi sekitar beberapa waktu lalu saya bertemu dengan tante saya dalam sebuah acara keluarga besar, kebetulan karena kuliah di Bandung kami jadi jarang komunikasi. Singkat cerita terjadilah perbincangan ringan, dan sampailah pada suatu momen..

“ Kamu kuliah di Bandung, kan? Jurusan apa? ”, Tanya tante saya.

“ Iya tante, Jurusan Informatika semester 4”, jawab saya agak datar dikit.

“ wahh tahun kedua ya, udah bisa bikin apa ? “ , mendadak bumi berhenti berputar.

Gak usah diterusin lah ya ceritanya, karena pasti udah ketebak endingnya. For ordinary student such as me, that’s question is so damn difficult to answer. Bagi mahasiswa jurusan informatika, ilmu komputer, dan sohib-sohibnya, adalah keharusan untuk bisa menunjukan hasil dari kuliahnya secara nyata. Dan ini jleb banget ! Baca lebih lanjut

Titik Jenuh

images

Selalu ada titik jenuh. Mungkin itulah kalimat yang tepat untuk saya tuliskan pada malam hari ini. Karena seberapapun hebatnya seorang perdana menteri, atau bahkan presiden sekalipun, pasti mereka memiliki titik jenuh pada rutinitasnya. Itulah fitrah manusia, yang memiliki banyak sekali keterbatasan disana sini. Sayapun seratus persen yakin bahwa kita semua pernah mengalaminya, bahkan lebih dari sekali.
Ia mungkin sesuatu yang lumrah, namun jangan dijadikan sebuah pembelaan atas kinerja-kinerja kita yang tiba-tiba memburuk, atau perilaku kita yang menjadi pembuang waktu. Rehat itu memang penting, tapi tidak dengan browsing tidak jelas melihat beranda facebook yang tidak ada habisnya. Berhenti sejenak memang diperlukan, tapi tidak pula dengan internetan berjam-jam mantengin TL yang tidak berujung.
Mari berfikir kembali kawan. Nikmat dari-Nya tidak selamanya bisa kita rasakan. Bahkan sering kali kita pura-pura lupa bahwa nikmat tersebut bisa jadi amatlah sulit didapatkan oleh orang lain. Nikmat mengenyam bangku kuliah, nikmat memiliki tubuh yang sehat, nikmat sibuk dalam organisasi, nikmat memiliki motor, nikmat punya gadget bagus, dan tak terhitung masih banyak lagi nikmat lainnya. maka Nikmat Tuhanmu yang Manakah yang Kamu dustakan?
Jika kita berada pada titik jenuh rutinitas, cobalah isi dengan banyak-banyak mengingatNya dalam lembaran-lembaran taujih Rabbani, atau hembusan zikir-zikir Ilahi. Karena insya Allah rehat itulah yang akan 100% menyegarkan hati dan pikiran, jauh lebih baik jika menambahkannya dengan tetesan-tetesan air mata sepertiga malam. Sungguh Allah akan memudahkan setiap urusanmu, dan mengabulkan keinginanmu.

gambar

PEMILU DAN SESENDOK MADU

manukahoneybee

Terhitung sejak saya menuliskan huruf pertama pada tulisan ini, kurang lebih 11 hari lagi pesta demokrasi terbesar negeri ini akan dihelat. Bersamaan dengan itu, hampir di seluruh media massa, atau mungkin keseluruhan darinya, semakin ramai dengan berita-berita aktual seputar kampanye di berbagai penjuru Indonesia. Kita juga bisa melihat bermacam-macam warna bendera partai beserta wajah-wajah caleg bertebaran di sepanjang ruas jalan. Pertanyaannya sekarang, sudahkah kita menentukan pilihan? Atau barangkali kita masuk ke dalam golongan orang yang tidak percaya lagi pada calon pemimpin bangsa ini?

Jika kita lihat, angka golput semenjak pemilu 2004, lalu ke 2009 mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan pada pemilu 2009 persentase golput mencapai 39.1%. Mengalahkan suara dari partai manapun, termasuk Partai Demokrat yang notabene sebagai pemenang saat itu. Pertanyaan kedua, Apa yang menyebabkan seseorang berfikir untuk memilih golput?

Saya akan mencoba berangkat dari sebuah cerita. Di suatu zaman hiduplah seorang raja adil yang memerintah suatu negeri yang bisa dikatakan cukup sejahtera. Dikala itu, kondisi negara sedang berada di penghujung musim panen dan hendak memasuki musim paceklik pangan. Sang raja yang adil tersebut dengan cerdas mengumpulkan rakyatnya di sebuah lapangan terbuka untuk berdialog.
Singkat cerita rakyat yang telah berkumpul diperintahkan untuk menaruh madu sebanyak satu sendok, hanya satu sendok madu setiap harinya di sebuah kuali besar di tengah kota. Nantinya madu ini akan digunakan sebagai cadangan makanan saat masa paceklik.

Akhirnya setiap hari rakyat berbaris untuk memasukkan sesendok madu ke dalam kuali raksasa tersebut. Diantara ribuan rakyat, tersebutlah seorang laki-laki yang tergolong kurang mampu, sebut saja ia otong. Si Otong merenung dan berdialog pada dirinya sendiri, ia memikirkan kehidupannya yang sehari-harinya sudah sulit mendapatkan makanan, dan sekarang diminta mengumpulkan madu setiap hari. Pada akhirnya, ia memutuskan untuk mengganti madu tersebut dengan sesendok air saja. Toh, cuman saya yang melakukan hal ini, pasti gak akan ngaruh sama madu yang satu kuali besar. Begitu pikirnya.

Setelah sekian lama mengumpulkan madu untuk cadangan makanan, tibalah saatnya kuali besar itu diambil dan dibagikan kembali kepada rakyat. Sang raja memerintahkan pengawal untuk membawa kuali raksasa tersebut ke hadapan rakyatnya dan membukanya. Alangkah kagetnya wajah pengawal ketika ia membuka tutup kuali tadi. Rajapun heran dengan sikap pengawalnya dan memerintahkan untuk menumpahkan seluruh isi kuali tadi. Apa yang terjadi? Benar saja, satu kuali besar berisi air tumpah di hadapan rakyat.

Sebagian dari kita mungkin malas untuk mencoblos, malas untuk mencari tahu partai yang pantas dipilih, dan seakan sudah putus harapan terhadap caleg-caleg yang ada. Namun ketahuilah kawan, satu suara kita adalah setitik harapan bagi bangsa ini. Jangan sampai pada akhirnya kita tidak bisa mendapatkan manisnya madu karena mayoritas beranggapan golput lebih baik. Menurut pandang saya, masih ada partai yang pantas dipilih, dan masih ada pemimpin yang cinta rakyat juga negeri ini. So, bersegeralah tentukan pilihanu dan jangan lupa dating ke TPS tanggal 09 April nanti.

Apa Salah Pemuda Zaman Sekarang?

“Beri Aku 10 Pemuda, Maka Akan Kuguncang Dunia!” – Ir. Soekarnoaktivis6
Sungguh taka asing lagi terdengar, dan memang tak bisa kita pungkiri bahwa pemuda melahirkan sejarah penting dalam lini masa peradaban bangsa ini. Banyak jasa-jasa pemuda yang sampai saat ini tidak bisa kita lupakan, dari tuntutan proklamasi Rengasdengklok hingga lahirnya era reformasi 1998. Banyak dari pemuda memainkan peran disana, dan barangkali saat ini sosok pemuda pembawa identik dengan mahasiswa.
Peran mahasiswa yang (katanya) sebagai agent of change, menurut saya, kini sudah semakin tergerus seiring dengan melajunya era teknologi informasi. Berangkat dari kisah saya dan beberapa kawan di kampus yang berkecimpung di berbagai wadah organisasi, terdapat satu permasalahan yang sama, meskipun latar belakang dan tujuan organisasi kami berbeda. Masalah itu tak lain adalah minimnya minat mahasiswa untuk mengambil peran dalam ruang lingkup organisasi.
Kira kira apa permasalahannya? Apakah jumlah mahasiswa terampau sedikit? Tidak, kalu diambil contoh kampus saya meliki lebih dari 7000 mahasiswa , yang setidaknya 5000 diantaranya berada pada masa aktif. Kalau begitu, Apakah publikasi kami kurang? Saya rasa tidak juga. Barangkali tidak semua mahasiswa mendapatkan informasinya,tapi yang jelas kami telah berusaha menyebarkanya melalui baliho, poster, sms, jejaring sosial, whatsApp, Line, dan metode-metode lainnya. Lalu apakah permintaan organisasi kami banyak? Sangat tidak sulit untuk mendaftar di organisasi kami, dan jumlah permintaan juga hanya berapa puluh saja.
Sulit mengatakannya, tapi menurut saya mahasiswa sekarang lebih dan bahkan jauh lebih apatis. Tentu akan sangat miris jika kita membayangkan pada zaman orde baru dahulu begitu sulitnya mahasiswa untuk bergerak dan berdiskusi, apalagi berorganisasi dalam sebuah wadah yang legal. Pastinya akan sangat kecewa apabila Soe Hoek Gie melihat perjuangannya dalam melegalkan kebebasan berpendapat, kini malah disia-siakan oleh generasi-generasi penerusnya.
Jika kita mengacu pada pembagian mahasiswa menjadi hedonis, akademis, dan aktivis, maka grafik hedonis saat ini sedang mengalami kenaikan, akademis cenderung stabil, dan aktivis mengalami penurunan. Tampak bahwa kaum hedonis kian banyak dengan ramainya acara-acara lawak dan konser yang tak manfaat, kaum akademis cukup stabil dengan masih ramainya peminat dalam rekruitasi laboratorium dan acara-acara seminar yang mengembangkan skill individu, sedangkan aktivis? Seperti yang saya sebutkan di awal.
Entah kenapa minat mahasiswa untuk berkontribusi memberikan kebermanfaatan melalui organisasi kini sangat minim. Banyak yang lebih senang duduk di depan televisi tertawa tidak karuan dibanding bersusah-susah aksi menyuarakan kebenaran. Banyak pula yang lebih mementingkan kemampuan individu semata dan menutup mata pada lingkungan. Ada pula yang takut IP turun padahal justru banyak mengisi waktu dengan bermain game dan update status.
Siapakah yang akan mengisi posisi-posisi penting parlemen, legislatif, dan kursi kepemimpinan di masa depan kalau bukan pemuda sekarang? Tapi apakah generasi-generasi lemah yang akan dijadikan tumpuan bangsa ini? Untukmu pemuda, untukmu para mahasiswa–mari bergerak, mari peduli lingkungan. Sesungguhnya peradaban Indonesia membutuhkan pejuang-pejuang tangguh, bukan generasi apatis yang minim kepekaan.

Ya Allah Selamatkan Anakku [Resensi Buku]

Capture

Judul : Ya Allah Selamatkan Anakku
No. ISBN : 978-602-281-043-8
Penulis : Ruqoyah
Tahun terbit : Oktober 2013
Dimensi : xx + 143 hlm; 14 x 21 cm
Jenis Cover : Soft Cover
Kategori : Parenting

Penuturan seorang ibu yang anaknya terjerat narkoba.

Bangkitlah anakku, ibunda bersamamu…

 Bruugg….

Betapa shocknya perasaanku begitu mendapati anakku terjerat benda iblis itu. Tak percaya rasanya menerima kenyataan ini,  hati dan pikiran ku ingin menolak…. Tidaaak…. Jangaaann…..

Rasa marah,kecewa, malu, kaget, benci, sedih, galau…. Aaah…. semua campur aduk jadi satu. Dunia serasa runtuh. , Aku merasa semua orang menudingku gak becus jadi ibu. Seolah dunia sekeliling ku mencibirku, menyalahkanku, menertawakanku, mengejekku.  Aaah…. Mengapa ini harus terjadi kepada anakku… darah dagingku….

Aku merasa gagal,…. Aku menangisi diriku sendiri yang tak berdaya….

Aku tak berani bertemu orang. Aku tak siap menghadapi ocehan dan cemoohan lingkungan sekelilingku…… Oh…. Yaaa Robb….. mau ditaruh dimana mukaku ini…., mau ku sembunyikan dimana aibku ini?…..

Dunia terasa gelap….pekaaat…… aku seperti terjerembab, terperosok ke dalam lorong tanpa ujung, binguuung….galaauuu…. Aku jadi menarik diri dari lingkungan, sedapat mungki menghindari keluar rumah.

Sungguh menarik ketika kita bisa membuka mata bahwa permasalahan-permasalah rumah tangga, khususnya urusan mendidik anak cukup banyak terjadi, namun kurang terekspos sehingga sulit bagi kita untuk mencari solusi bersama. Sebagian besar darinya bahkan memiliki kesamaan hampir di setiap keluarga tanpa memandang latar belakang keturunan, pendidikan, bahkan agama.

Kisah di atas hanyalah penggalan salah satu cerpen yang ada di dalam buku ini. Cerpen yang mengisahkan tentang perjuangan orang tua, terutama sang ibu dalam menarik kembali sang buah hati ke jalan yang benar, setelah divonis terjerat narkoba. Perjuangan yang sejatinya tidak mudah, apalagi notabene keluarga tersebut adalah keluarga baik-baik.

Buku ini mencoba mengulas secara runut, ringan, dan solutif, juga islami, dalam membahas berbagai permasalahan dalam pendidikan anak. Runut disini yaitu penjelasan yang disampaikan tidak hanya sebatas bagaimana menganani berbagai permasalahan anak, namun dimulai dari bagaimana membangun pondasi sebuah keluarga yang baik dan islami. Aspek perbaikan diri, memilih pasangan yang sesuai, berbagi peran suami dan istri, hingga masalah asupan-asupan dalam pendidikan anak dibahas dalam buku ini.

Selanjutnya ringan yaitu pembawaan penulis dalam mendeskripsikan masalah tidak secara kaku, namun dituangkan ke dalam cerpen menarik yang akan membuat pembaca memahami permasalahan dengan mudah. Selanjutnya di bagian akhir terdapat solusi dan pelajaran yang dapat diambil dari cerpen-cerpen tadi, yang keseluruhannya diangkat dari kisah nyata yang Insya Allah akan sangat representatif terhadap permasalahan yang melanda keluarga saat ini.

Pembawaan yang dapat dipahami dengan mudah namun sarat akan ‘gizi’ islami menjadikan buku ini dapat dibaca oleh kalangan muda sampai tua sekalipun. Lebih baik lagi bila kita membaginya sebagai hadiah untuk kerabat yang baru menikah, baru melahirkan, atau yang sedang memiliki permasalahan dalam segmen pendidikan anak.

Anak sholeh pasti lahir dari keluarga yang sholeh juga, dan para orang tua sholehlah yang menjadi kunci utama terbentuknya anak sholeh. mereka menjadi teladan dan motor penggerak bersama anak-anaknya dalam membangun peradaban islami untuk kemaslahatan ummat. Selamat membaca.

Kapan Pelangi itu Akan Hadir?

rain_medium

Hujan itu turun. Sedikit demi sedikit keluar dari sela-sela putihnya awan yang mulai menggelap. Menyapa sang bumi dengan perlahan, seolah berkomunikasi dengan cara yang tidak kita ketahui. Jakarta sore ini kembali hujan. Menyisakan ruang-ruang jalan yang seolah menjadi kosong seketika. Hiruk pikuk orang mulai berlarian memenuhi pinggiran, mencari tempat untuk sedikit bernaung. Mobil-mobil itu mulai melambat, meningkatkan kehati-hatian para pengendara yang membawanya.

Entah ini anugerah atau musibah, yang kulihat Jakarta sore ini sedang menangis. Aku tidak tahu apakah sekumpulan manusia, dengan segala hiruk pikuknya, yang membuatnya bersedih. Langit selalu memiliki cara untuk berkomunikasi dengan kita. namun sayang, kita tidak selalu paham maksud yang ia sampaikan. Baca lebih lanjut